Di dalam kamera kita ada komponen bernama shutter, yang peranannya sangat penting untuk mengatur terang gelapnya
foto, dan juga bisa membuat benda yang bergerak jadi tampak beku atau sebaliknya jadi terlihat blur. Komponen shutter ini bentuknya seperti tirai yang menutupi sensor, disebut juga dengan
focal plane shutter. Saat foto diambil, shutter akan dibuka untuk memasukkan cahaya ke sensor. Lamanya shutter membuka disebut dengan
shutter speed yang bisa kita pilih mau cepat atau lambat, dalam hitungan detik atau seper detik. Begitulah cara kerja kamera sampai saat ini, termasuk
kamera digital SLR yang banyak dipakai oleh fotografer dimanapun.
Ada satu hal yang menjadi kelemahan dari shutter berjenis focal plane atau nama lainnya
vertical travel shutter ini. Bagi yang sering memakai lampu flash tentu pernah mengalami kalau flashnya tidak bisa dipakai pada shutter speed tertentu,
misal diatas 1/200 detik. Hal ini karena desain dan kerja shutter yang menyebabkan cahaya flash akan terhalang bila shutter terlalu cepat. Pada hasil foto yang didapat akan terlihat belang, sebagian terang dan sebagian lagi gelap. Batasan ini bisa membatasi kreativitas kita dalam memotret dengan flash, misal di siang hari yang terang jadi tidak bisa pakai bukaan besar kalau pakai flash. Padahal bukaan besar punya keuntungan bisa membuat background jadi blur, dan berkaitan dengan flash kita tahu kalau bukaan besar bisa ‘meringankan’ kerja flash juga.
Foto dengan flash jadi belang akibat memakai shutter terlalu cepat
Electronic shutter
Dulu saya punya kamera
Nikon D40 yang salah satu kehebatannya adalah maksimum
flash sync speed-nya. Bila kamera lain umumnya membatasi shutter hanya sampai 1/200 detik saat pakai flash, maka kamera saya ini membolehkan saya memakai flash sampai kecepatan 1/500 detik. Apakah shutter unit di Nikon D40 ini begitu istimewa? Ternyata bukan begitu, rahasianya adalah D40 memakai kombinasi shutter mekanik dan elektronik. Jadi shutter mekanik di kamera D40 itu hanya akan bekerja sampai speed tertentu misal 1/90 detik, lalu bila kita memilih speed lebih cepat dari itu maka otomatis kamera akan memakai shutter elektronik yang mengatur sirkuit di dalam sensor untuk ‘on-off’ dalam kecepatan tertentu, hingga 1/4000 detik.
Mungkin kita pernah bertanya-tanya, mengapa harus ada shutter dalam bentuk mekanik yang harus membuka tutup setiap foto diambil? Bukankah di jaman canggih ini sensor bisa ditugaskan juga jadi elektronik shutter, seperti sensor di kamera saku atau kamera Nikon D40? Apalagi sistem shutter elektronik punya keuntungan yaitu tidak ada komponen yang bergerak dan artinya akan terus bisa dipakai selama sensor atau kamera itu masih hidup. Jawaban simpelnya adalah desain sensor keduanya sedikit ada perbedaan. Sensor DSLR dan kamera lain dengan shutter mekanik didesain untuk ‘perlu bantuan’ dari shutter mekanik dalam menentukan timing eksposur. Sedangkan sensor di kamera saku atau kamera ponsel memang didesain untuk bisa difungsikan juga sebagai shutter elektronik supaya ringkas dan murah.
Penjelasan lebih lanjutnya adalah, pada dasarnya kalau kamera DSLR mau pakai sistem shutter elektronik bisa saja, walau tentu sensornya harus didesain ulang. Masalahnya untuk bisa menjadi shutter elektronik, sebuah sensor harus punya komponen tambahan pada setiap pikselnya, dan ini berakibat kemampuan menangkap cahaya jadi berkurang. Imbas langsungnya ada pada kualitas akhir dari foto yang dihasilkan. Bagi kita pengguna DSLR, mungkin merasa adanya shutter mekanik seolah-olah rumit dan mengangap konsep shutter elektronik terkesan jauh lebih simpel. Tapi bagi produsen kamera DSLR, shutter mekanik adalah sebuah solusi yang lebih masuk akal, bila memakai shutter elektronik justru akan membuat rumit desain sensor DSLR dan akan ada penurunan kualitas hasil fotonya.
Leaf shutter
Ada juga kamera yang dibuat dengan desain shutter berjenis leaf shutter. Berbeda dengan focal plane shutter yang biasa kita kenal, leaf shutter ini buka tutupnya mirip bilah aperture lensa, dan memang leaf shutter ini secara fisik berada di lensa (bukan di kamera). Bisa dibilang inilah desain shutter yang paling klasik, ada sejak awal era fotografi jaman dulu, seperti kamera Yashica, Mamiya dan lainnya. Yang jelas leaf shutter saat ini tidak ditemukan di kamera DSLR, melainkan di kamera medium format. Setiap lensa medium format punya leaf shutter sendiri, jadi harga lensanya akan lebih mahal. Kalau dibandingkan dengan focal plane shutter, kekurangan leaf shutter itu tidak bisa mencapai kecepatan yang sangat tinggi seperti focal plane shutter, paling hanya bisa sampai 1/1000 detik. Tapi keuntungannya leaf shutter cenderung tidak berisik, dan satu keunggulan utama dia adalah bisa flash sync dengan berapapun kecepatan shutternya.
Mengapa kemampuan flash sync begitu penting? Seperti yang sudah diulas di awal tulisan ini, saat siang hari tentunya kita akan lebih sering memakai shutter speed yang cepat, misal 1/500 detik. Bila kamera dengan focal plane shutter maksimal membatasi hanya boleh pakai 1/200 detik maka saat siang hari kita mau pakai flash, terpaksa memakai bukaan yang lebih kecil. Bukaan kecil sulit untuk mendapat
bokeh dan akan melemahkan kekuatan flash juga. Dengan kamera berdesain leaf shutter, kita bisa pakai 1/500 detik, bukaan besar dan tenaga flash cukup yang rendah saja.
source by Info fotografi