Dalam fotografi, porsi cahaya baku berpatokan pada kecerahan sinar Matahari. Patokan klasik biasa dinamakan "Sunny 16 rule". Patokan mainnya (rule of thumb) kira-kira berbunyi, gunakan kecepatan 1/ASA-film (detik) pada lebar diafragma 1/16 pada siang bolong. Biasanya aturan ini disertakan dalam kemasan film.
Misalkan kita memakai film sepeka ASA 100 maka semestinya kita mematok kecepatan 1/100 detik (dalam praktik biasanya 1/125 detik) pada lebar diafragma 1/16. Apabila kita membuka diafragma 1/8 (dua kali selebar 1/16) maka kecepatan meningkat dua kali pula untuk mendapatkan pencahayaan yang tepat (1/500 detik). Apabila kita memakai film ASA 400 maka kecepatan acuan rana 1/400 detik (1/500 detik dalam praktek) pada lebar diafragma 1/16 untuk mendapat porsi cahaya yang wajar.
Bulan merupakan satelit Bumi yang berjarak nyaris sama terhadap Matahari. Oleh karena itu logika "Sunny 16 rule" berlaku juga di sini dengan sedikit aturan tambahan.
Aturan tambahan timbul karena Bulan berlatarbelakang angkasa yang hitam sehingga 'menipu' sensor cahaya lensa. Pada lensa-lensa di bawah panjang titik-api 500 mm, cahaya dari permukaan Bulan sulit terukur akurat melalui sensor cahaya kamera (light meter). Biasanya fotografer memperbanyak porsi cahaya 100 persen agar pencahayaannya tepat. Jadi aturan mainnya kira-kira menjadi : kita semestinya memakai 1/ASA-film (detik) pada bukaan diafragma 1/11 ketika memotret Bulan.
Misalkan kita memakai film sepeka ASA 100 maka semestinya kita mematok kecepatan rana 1/125 pada diafragma 1/11. Apabila kita membuka diafragma 1/16 (separuh 1/11) maka kecepatan merosot 100 persen menjadi (1/60 detik). Apabila kita memakai film ASA 400 maka kecepatan acuan rana 1/400 detik (1/500 detik dalam praktek) pada lebar diafragma 1/11.
Aturan tersebut berlaku ketika Bulan purnama. Semakin kecil luas permukaan Bulan yang terlihat maka kita perlu menambah porsi cahaya yang masuk ke film. Patokan umum adalah peningkatan 100 persen cahaya sesuai perbani Bulan.
Pada fasa bulan-baru, porsi cahaya kira-kira memerlukan tambahan 4 - 5 kali sebanyak bulan purnama. Apabila kita memotret bulan sabit dengan kepekaan setara film ASA 400, maka kecepatan acuan rana kira-kira menjadi 1/500 detik pada lebar diafragma 1/4 atau bisa juga kecepatan 1/60 – 1/30 detik dengan lebar diafragma 1/11.
Apabila kita memotret bulan sabit dengan kepekaan setara film ASA 100, maka kecepatan acuan rana kira-kira menjadi 1/100 detik dengan lebar diafragma 1/4 atau bisa juga kecepatan 1/15 detik dengan lebar diafragma 1/11.
Hitungan ini hanyalah acuan di lapangan terutama ketika memakai lensa-lensa lebar (lebih lebar daripada 35 mm). Dalam praktik lebih sering porsi cahaya harus diperbesar ketika situasi berawan, sarat polusi cahaya, atau posisi Bulan berada dekat cakrawala. Pengukur cahaya dalam kamera baru memadai hanya ketika pemotretan menggunakan lensa cukup panjang (terutama lebih panjang daripada 200 mm).
Cahaya bukan satu-satunya problem dalam pemotretan bulan. Kecepatan rana yang terlalu lambat terhadap gerak Bulan (relatif terhadap lensa) akan mengaburkan citra Bulan. Faktor penentu untuk mengatasi persoalan ini terletak pada panjang titik-api lensa.
Bulan bergeser 1/2 derajat-busur setelah dua menit terhadap lensa dan kamera yang bergeming. Pergeseran ini semakin kentara sesuai panjang titik-api lensa yang sedang dipergunakan. Kira-kira pada panjang titik-api 50 mm, kita bisa membuka rana sampai 10 detik sebelum citra Bulan terlihat berekor. Pada panjang titik-api lensa 200 mm kesempatan merosot paling banter 2 – 4 detik. Pada panjang titik-api lensa 300 mm maka kesempatan paling banter 2 detik.
Sumber: http://undix.blogs.friendster.com/verba_volent_scripta_mane/2007/08/gerhana_bulan_2.html